SALING MENGHARGAI ANTAR WARGA SEKOLAH
Oleh: Ag. Budi Susanto
Dunia pendidikan kita akhir-akhir ini cukup dikejutkan dengan mencuatnya berbagai kasus kekerasan di lingkungan sekolah. Kekerasan yang terjadi antar siswa, guru terhadap siswa, atau sebaliknya siswa terhadap guru. Kekerasan baik yang bersifat fisik (menyubit, memukul, menjambak, menyenggol dengan sengaja, menjegal) maupun bersifat verbal (memanggil dengan nama julukan, menyebar gosip, mengintimidasi secara emosional, mengisolasi, mengeluarkan dari kelompoknya, dan tindakkan secara seksual seperti memberi komentar, melakukan kontak-kontak pada bagian tertentu, menarik tali BH, mengintip rok), seperti yang diungkapkan Dr. Silverius Y. Soeharso, S.E., M.M. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila (Hidup No. 24 tahun ke-61, 17 juni 2007) .
Bebebarapa kasus dapat kita lihat, Kekerasan fisik yang terjadi antara senior dengan yunior di IPDN, Kekerasan senior terhadap yunior di SMA Pangudi Luhur I Jakarta, Kekerasan antar mahasiswa di Makasar, kekerasan dari guru terhadap siswa di Jawa Timur maupun di SD Santa Maria Bekasi, tawuran antar pelajar dan masih banyak lagi bentuk kekerasan yang mencuat dipermukaan. Beberapa kasus yang terjadi menimpa sekolah-sekolah kita. Hal ini cukup menjadi keprihatinan kita sebagai pelaku dalam dunia pendidikan.
Sebut saja salah satu contoh kekerasan fisik yang menimpa siswa di SMA Pangudi Luhur I Jakarta. Blasius Adisaputra (17) mengalami tindak kekerasan oleh beberapa kakak kelasnya. Tindakan kekerasan ini disebabkan oleh: Pertama, Adi jarang kumpul PULS (Pulang Sekolah). Kedua, Adi berhenti dari kegiatan ekstrakurikuler fotografi. Ketiga, Adi menolak menjadi mata-mata kakak kelasnya. Akibat dari ketiga hal tersebut Adi mendapat perlakuan kasar. Bagian pahanya dicubit, punggungnya ditendang. Tangan kiri, bibir dan hidungnya lebam.
Belum lama ini juga mencuat kasus yang cukup memprihatinkan kita semua, kasus pelecehan seksual terhadap puluhan siswa yang dilakukan oleh seorang kepala sekolah SMA di Bantul. Atas tindakan tersebut yang bersangkutan diberikan sanksi, diberhentikan dari jabatan kepala sekolah dan guru. Ia ditarik ke dinas menjadi staf di Dinas Pendidikan Kabupaten Bantul.
Terlepas dari ilustrasi di atas, kita sebagai pendidik harus bijaksana dalam menanggapi berbagai kasus kekerasan fisik maupun kekerasan verbal dalam lingkungan sekolah akhir-akhir ini. Kita tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa kasus tersebut sepenuhnya mutlak kesalahan siswa. Guru maupun mekanisme sekolah yang ada juga bisa menjadi penyebab munculnya kekerasaan fisik di lingkungan sekolah.
Penyebab kekerasan fisik dari siswa dapat kita dilihat dua faktor. Pertama faktor internal siswa sendiri misalnya: pelaku melakukan perbuatan tersebut karena merasa bosan dengan rutinitas. Mereka ingin mencari sesuatu yang baru dan menemukan kepuasaan. Ketika orang lain merasa takut atau mendapat celaka dari perbuatan pelaku tindak kekerasaan maka pelaku akan merasakan suatu kepuasaan. Mereka seolah akan mendapat penghargaan dari para yunior berupa penghormatan.
Kedua adalah faktor eksternal dari siswa. Hal ini misalnya masalah latar belakang keluarga. Mereka kurang mendapatkan perhatian ataupun pengawasan yang diberikan orang tua. Untuk melampiaskan kekecewaan terhadap orang tuanya, mereka melakukan perbuatan yang merugikan siswa lain. Sasaran empuk mereka adalah para yuniornya.
Sering kita sadari atau tidak kita sadari sebagai pendidik tindakan kita memicu munculnya kekerasaan fisik maupun verbal di lingkungan sekolah. Ketika kita sedang ada masalah pribadi sering ikut terbawa ke dalam kelas. Beberapa siswa bertingkahlaku yang kurang berkenan membuat kita mudah emosi. Pemukulan terhadap siswa sering kita lontarkan atau meninggalkan kelas dengan kemarahan. Perbuatan tersebut sebenarnya kurang tepat dilakukan sebagai seorang pendidik. Kita bisa menegur siswa yang membuat kekacauan atau kalau perlu mereka kita suruh keluar bukan kita yang keluar. Rasa tidak senang terhadap seorang siswa idealnya tidak berkelanjutan dalam diri kita. Kita merasa tidak senang dengan salah satu siswa selalu terbawa maka siswa tersebut jelas akan dirugikan.
Mekanisme sekolah yang kurang baik juga bisa memicu munculnya kekerasaan fisik di lingkungan sekolah. Hal ini misalnya kita jumpai dalam kegiatan MOS. Kegiatan MOS ini sering disalah tafsirkan menjadi kegiatan perploncoan. Senior atau kakak kelas sering menyuruh yuniornya untuk melakukan tindakan yang ‘aneh-aneh’ dan senior mencari-cari kesalahan yunior.
Tindakan tersebut hendaknya betul dihilangkan karena sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan MOS. MOS pada prinsipnya mempunyai tujuan untuk memperkenalkan dan memberikan bekal kepada para siswa baru dalam memasuki lingkungan sekolah yang baru. Namun sering kita jumpai para senior melakukan tindakan itu didiamkan dengan alasan untuk melatih mental dan menumbuhkan kepribadian siswa baru.
Beberapa sekolah sering mengadakan kegiatan ekstrakurikuler ‘katanya’ untuk melatih kedisiplinan, mental dan menumbuhkan percaya diri. Sebut saja misalnya baris berbaris. Mereka mengikuti latihan baris-berbaris dengan dibimbing kakak kelas. Hal ini jelas sekali mudah untuk memunculnya suatu tindak kekerasaan. Para senior akan membentak-bentak para yunior. Mereka tidak menutup kemungkinan akan mencari-cari kesalahan yunior dan hukuman akan diberikan kepadanya. Hal ini akan berlangsung terus menerus sekarang menjadi yunior tahun depan menjadi senior tentu akan memberlakukan kepada yuniornya kelak. Merlihat hal tersebut sekolah harus lebih bijaksanan dan memberikan penekanan yang lebih tentang kegiatan tersebut agar tidak salah tafsir dari para siswa.
Untuk menghindarkan tindak kekerasan fisik di lingkungan sekolah adalah dengan penanaman budaya saling menghargai sesama warga sekolah. Siswa dengan siswa, guru dengan siswa atau sebaliknya. Untuk penanaman budaya saling menghargai sesama warga sekolah dapat kita lakukan dengan beberapa cara.
Pertama, Budaya senioritas harus dihilangkan dalam lingkungan sekolah. Mereka yang merasa senior akan memperlakukan yunior semaunya. Perlakuan para senior terhadap yunior ini sebagai upaya agar dihargai oleh para yunior. Harapannya para yunior takut dan menghargai para senior atau menghormati para senior. Budaya senioritas dan yunioritas kalau tetap kita pertahankan hanya akan menimbulkan konflik. Konflik ini akhirnya memicu munculnya kekerasan fisik. Orang dihargai karena kepribadian yang ditampilkan memang pantas untuk dihargai bukan karena hasil menekan pihak lain.
Upaya untuk menghilangkan budaya ini misalnya sekolah memberikan tindakkan tegas kalau menjumpai tindakan siswa yang menganggap dirinya senior. Setuju dengan apa yang dilakukan pengelola SMA Pangudi Luhur I Jakarta untuk mengeluarkan siswa yang melakukan tindakkan kekerasan terhadap siswa lain. Namun hal ini hendaknya sebagai sanksi terakhir yang dikeluarkan sekolah kalau sekolah memang sudah tidak mampu membina mereka lagi.
Hilangnya budaya senioritas dikalangan siswa dalam hal ini siswa kelas I, II maupun III memiliki kedudukan yang sama. Mereka sebagai siswa suatu sekolah memiliki tugas dan tanggungjawab yang sama. Mereka bebas bergaul dengan adik kelas maupun kakak kelas. Hal ini menunjukkan adanya saling menghargai sesama siswa di sekolah. Kakak maupun adik hanya untuk membedakan tingkatan atau jenjang mereka di sekolah.
Kedua, sekolah harus selalu menjaga hubungan yang harmonis antara siswa dengan sesama siswa maupun dengan guru. Untuk menjaga hubungan yang harmonis ini dilakukan dengan menanamkan budaya saling menghargai antar sesama warga sekolah. Siswa harus menganggap siswa yang lain sama dan tidak membeda-bedakan. Hal ini tercermin dalam pergaulan, mereka tidak membeda-bedakan yang kaya miskin, cantik jelek dan sebagainya. Mereka semua adalah kawan seperjuangan dalam mencapai cita-cita.
Seorang guru juga harus dapat menjaga keharmonisan dengan para siswa. Siswa yang satu dengan yang lain harus kita pandang sama. Salah satu upaya yang dapat kita lakukan adalah dengan menghindarkan budaya “ngecing” (merasa tidak senang dengan salah satu siswa). Hal ini kalau ada dalam diri seorang guru sudah barang tentu akan merugikan siswa tersebut. Kita dalam memberikan nilai akan terpengaruh dengan perasaan kita sehingga siswa tersebut menjadi dirugikan.
Ketiga, Penegakan kediplinan sekolah yang tegas. Kedisiplinan siswa harus betul-betul ditegakkan. Siswa yang melanggar peraturan sekolah maka ia harus ditindak tegas. Misalnya dengan penerapan sistim poin di sekolah. Sekolah dalam hal ini wali kelas harus menindak anak buahnya yang melanggar peraturan sekolah. Siswa yang membolos harus diberi poin. Hal ini akan membuat para siswa jera untuk melakukan perbuatan yang melanggar peraturan sekolah.
Di samping poin yang kita berikan kepada siswa yang melanggar sekolah juga bisa memberikan sanksi yang lain. Namun sanksi yang lain ini hendaknya bukan yang mengarah kepada kekerasaan. Sanksi tersebut idealnya yang dapat membuat siswa berkembang dan mendidik. Misalnya siswa diminta membuat refleksi dengan ketentuan dua atau tiga lembar. Siswa akan berusaha menyesali perbuatannya dan ia akan berlatih membuat suatu karangan. Tamparan ataupun tindak kekerasaan lain yang kita berikan hanya akan semakin meruncingkan masalah. Siswa akan hormat di depan kita dan di belakang meremehkan kita.
Sebagai upaya untuk menegakkan kedisiplinan para siswa hendaknya guru juga harus dapat mengenali kepribadian siswa. Ketika guru dihadapkan kepada siswa yang bermasalah kita tidak bisa langsung menjatuhkan sanksi. Kita harus mengenali siswa terlebih dahulu dengan pendekatan pribadi. Setelah kita mengetahui latar belakang siswa dan latar belakang permasalahan kita baru bisa memutuskan dan diikuti dengan pemberian jalan keluar. Hal ini sebagai upaya untuk menegakkan kedisiplinan siswa.
Keempat, Penanaman nilai-nilai kristiani di sekolah. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai kristiani ini. Misalnya pembinaan iman yang rutin dan berkala. Secara rutin misalnya dengan pendalaman kitab suci setiap minggunya diselipkan dalam jam-jam pelajaran yang ada. Secara berkala misalnya kelas I ada program rekoleksi, kelas II dengan gladi rohani dan kelas III dengan retret. Bagi sekolah-sekolah Katholik hal ini mudah dilakukan dan bisa menjadi program yang rutin. Namun bagi sekolah yang umum sedikit mengalami kendala.
Bagi sekolah-sekolah di Lingkungan Yayasan Pangudi Luhur misalnya penanaman nilai-nilai kristiani dengan memasukkan ‘Ke-Pangudiluhuran’ dalam jam pelajaran. Dalam satu minggu diberikan satu jam pelajaran untuk ‘Ke-Pangudiluhuran’. Banyak hal yang di sampaikan dalam ‘Ke-Pangudiluhuran’ antara lain nilai-nilai kasih sayang, tolong menolong, semangat kebersamaan, solidaritas dan lain sebagainya. Pada intinya dalan Ke-Pangudiluhuran para siswa diharapkan dapat meneladani hidup seperti yang tercermin dalam sosok Bruder FIC.
Kelima, sekolah harus selektif dalam mengadakan kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler yang memudahkan memicu tindak kekerasaan harus didampingi pembimbing dengan sungguh-sungguh bila perlu dipangkas atau dihilangkan saja. Sekolah bisa lebih seletif dalam memilih kegiatan ekstrakurikuler yang dapat diikuti para siswa. Kegiatan tersebut bisa yang berupa penyaluran bakat (olahraga, musik), memberikan bekal hidup (ketrampilan), menanamkan nilai-nilai hidup( Palang Merah Remaja, Pencinta Alam) maupun penajaman berfikir ( debat, penalaran).
Menghindarkan budaya senioritas, menjaga hubungan yang harmonis sesama warga sekolah, penegakaan disiplin yang tegas, penanaman nilai-nilai kristiani dan selektif dalam menentukan kegiatan ekstrakurikuler merupakan beberapa solusi yang diusulkan penulis agar iklim yang kondusif dan saling menghargai sesama warga sekolah tercapai. Hal ini akan membuat sekolah terhindar dari tindak kekerasaan fisik maupun tindak kekerasaan verbal. Semoga!!!
#@@@@@@@#
Ag. Budi Susanto, S.Pd.
Guru SMA Pangudi Luhur Sedayu