Rabu, 12 Januari 2011

SALING MENGHARGAI ANTAR WARGA SEKOLAH

SALING MENGHARGAI ANTAR WARGA SEKOLAH

Oleh: Ag. Budi Susanto

Dunia pendidikan kita akhir-akhir ini cukup dikejutkan dengan mencuatnya berbagai kasus kekerasan di lingkungan sekolah. Kekerasan yang terjadi antar siswa, guru terhadap siswa, atau sebaliknya siswa terhadap guru. Kekerasan baik yang bersifat fisik (menyubit, memukul, menjambak, menyenggol dengan sengaja, menjegal) maupun bersifat verbal (memanggil dengan nama julukan, menyebar gosip, mengintimidasi secara emosional, mengisolasi, mengeluarkan dari kelompoknya, dan tindakkan secara seksual seperti memberi komentar, melakukan kontak-kontak pada bagian tertentu, menarik tali BH, mengintip rok), seperti yang diungkapkan Dr. Silverius Y. Soeharso, S.E., M.M. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila (Hidup No. 24 tahun ke-61, 17 juni 2007) .

Bebebarapa kasus dapat kita lihat, Kekerasan fisik yang terjadi antara senior dengan yunior di IPDN, Kekerasan senior terhadap yunior di SMA Pangudi Luhur I Jakarta, Kekerasan antar mahasiswa di Makasar, kekerasan dari guru terhadap siswa di Jawa Timur maupun di SD Santa Maria Bekasi, tawuran antar pelajar dan masih banyak lagi bentuk kekerasan yang mencuat dipermukaan. Beberapa kasus yang terjadi menimpa sekolah-sekolah kita. Hal ini cukup menjadi keprihatinan kita sebagai pelaku dalam dunia pendidikan.

Sebut saja salah satu contoh kekerasan fisik yang menimpa siswa di SMA Pangudi Luhur I Jakarta. Blasius Adisaputra (17) mengalami tindak kekerasan oleh beberapa kakak kelasnya. Tindakan kekerasan ini disebabkan oleh: Pertama, Adi jarang kumpul PULS (Pulang Sekolah). Kedua, Adi berhenti dari kegiatan ekstrakurikuler fotografi. Ketiga, Adi menolak menjadi mata-mata kakak kelasnya. Akibat dari ketiga hal tersebut Adi mendapat perlakuan kasar. Bagian pahanya dicubit, punggungnya ditendang. Tangan kiri, bibir dan hidungnya lebam.

Belum lama ini juga mencuat kasus yang cukup memprihatinkan kita semua, kasus pelecehan seksual terhadap puluhan siswa yang dilakukan oleh seorang kepala sekolah SMA di Bantul. Atas tindakan tersebut yang bersangkutan diberikan sanksi, diberhentikan dari jabatan kepala sekolah dan guru. Ia ditarik ke dinas menjadi staf di Dinas Pendidikan Kabupaten Bantul.

Terlepas dari ilustrasi di atas, kita sebagai pendidik harus bijaksana dalam menanggapi berbagai kasus kekerasan fisik maupun kekerasan verbal dalam lingkungan sekolah akhir-akhir ini. Kita tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa kasus tersebut sepenuhnya mutlak kesalahan siswa. Guru maupun mekanisme sekolah yang ada juga bisa menjadi penyebab munculnya kekerasaan fisik di lingkungan sekolah.

Penyebab kekerasan fisik dari siswa dapat kita dilihat dua faktor. Pertama faktor internal siswa sendiri misalnya: pelaku melakukan perbuatan tersebut karena merasa bosan dengan rutinitas. Mereka ingin mencari sesuatu yang baru dan menemukan kepuasaan. Ketika orang lain merasa takut atau mendapat celaka dari perbuatan pelaku tindak kekerasaan maka pelaku akan merasakan suatu kepuasaan. Mereka seolah akan mendapat penghargaan dari para yunior berupa penghormatan.

Kedua adalah faktor eksternal dari siswa. Hal ini misalnya masalah latar belakang keluarga. Mereka kurang mendapatkan perhatian ataupun pengawasan yang diberikan orang tua. Untuk melampiaskan kekecewaan terhadap orang tuanya, mereka melakukan perbuatan yang merugikan siswa lain. Sasaran empuk mereka adalah para yuniornya.

Sering kita sadari atau tidak kita sadari sebagai pendidik tindakan kita memicu munculnya kekerasaan fisik maupun verbal di lingkungan sekolah. Ketika kita sedang ada masalah pribadi sering ikut terbawa ke dalam kelas. Beberapa siswa bertingkahlaku yang kurang berkenan membuat kita mudah emosi. Pemukulan terhadap siswa sering kita lontarkan atau meninggalkan kelas dengan kemarahan. Perbuatan tersebut sebenarnya kurang tepat dilakukan sebagai seorang pendidik. Kita bisa menegur siswa yang membuat kekacauan atau kalau perlu mereka kita suruh keluar bukan kita yang keluar. Rasa tidak senang terhadap seorang siswa idealnya tidak berkelanjutan dalam diri kita. Kita merasa tidak senang dengan salah satu siswa selalu terbawa maka siswa tersebut jelas akan dirugikan.

Mekanisme sekolah yang kurang baik juga bisa memicu munculnya kekerasaan fisik di lingkungan sekolah. Hal ini misalnya kita jumpai dalam kegiatan MOS. Kegiatan MOS ini sering disalah tafsirkan menjadi kegiatan perploncoan. Senior atau kakak kelas sering menyuruh yuniornya untuk melakukan tindakan yang ‘aneh-aneh’ dan senior mencari-cari kesalahan yunior.

Tindakan tersebut hendaknya betul dihilangkan karena sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan MOS. MOS pada prinsipnya mempunyai tujuan untuk memperkenalkan dan memberikan bekal kepada para siswa baru dalam memasuki lingkungan sekolah yang baru. Namun sering kita jumpai para senior melakukan tindakan itu didiamkan dengan alasan untuk melatih mental dan menumbuhkan kepribadian siswa baru.

Beberapa sekolah sering mengadakan kegiatan ekstrakurikuler ‘katanya’ untuk melatih kedisiplinan, mental dan menumbuhkan percaya diri. Sebut saja misalnya baris berbaris. Mereka mengikuti latihan baris-berbaris dengan dibimbing kakak kelas. Hal ini jelas sekali mudah untuk memunculnya suatu tindak kekerasaan. Para senior akan membentak-bentak para yunior. Mereka tidak menutup kemungkinan akan mencari-cari kesalahan yunior dan hukuman akan diberikan kepadanya. Hal ini akan berlangsung terus menerus sekarang menjadi yunior tahun depan menjadi senior tentu akan memberlakukan kepada yuniornya kelak. Merlihat hal tersebut sekolah harus lebih bijaksanan dan memberikan penekanan yang lebih tentang kegiatan tersebut agar tidak salah tafsir dari para siswa.

Untuk menghindarkan tindak kekerasan fisik di lingkungan sekolah adalah dengan penanaman budaya saling menghargai sesama warga sekolah. Siswa dengan siswa, guru dengan siswa atau sebaliknya. Untuk penanaman budaya saling menghargai sesama warga sekolah dapat kita lakukan dengan beberapa cara.

Pertama, Budaya senioritas harus dihilangkan dalam lingkungan sekolah. Mereka yang merasa senior akan memperlakukan yunior semaunya. Perlakuan para senior terhadap yunior ini sebagai upaya agar dihargai oleh para yunior. Harapannya para yunior takut dan menghargai para senior atau menghormati para senior. Budaya senioritas dan yunioritas kalau tetap kita pertahankan hanya akan menimbulkan konflik. Konflik ini akhirnya memicu munculnya kekerasan fisik. Orang dihargai karena kepribadian yang ditampilkan memang pantas untuk dihargai bukan karena hasil menekan pihak lain.

Upaya untuk menghilangkan budaya ini misalnya sekolah memberikan tindakkan tegas kalau menjumpai tindakan siswa yang menganggap dirinya senior. Setuju dengan apa yang dilakukan pengelola SMA Pangudi Luhur I Jakarta untuk mengeluarkan siswa yang melakukan tindakkan kekerasan terhadap siswa lain. Namun hal ini hendaknya sebagai sanksi terakhir yang dikeluarkan sekolah kalau sekolah memang sudah tidak mampu membina mereka lagi.

Hilangnya budaya senioritas dikalangan siswa dalam hal ini siswa kelas I, II maupun III memiliki kedudukan yang sama. Mereka sebagai siswa suatu sekolah memiliki tugas dan tanggungjawab yang sama. Mereka bebas bergaul dengan adik kelas maupun kakak kelas. Hal ini menunjukkan adanya saling menghargai sesama siswa di sekolah. Kakak maupun adik hanya untuk membedakan tingkatan atau jenjang mereka di sekolah.

Kedua, sekolah harus selalu menjaga hubungan yang harmonis antara siswa dengan sesama siswa maupun dengan guru. Untuk menjaga hubungan yang harmonis ini dilakukan dengan menanamkan budaya saling menghargai antar sesama warga sekolah. Siswa harus menganggap siswa yang lain sama dan tidak membeda-bedakan. Hal ini tercermin dalam pergaulan, mereka tidak membeda-bedakan yang kaya miskin, cantik jelek dan sebagainya. Mereka semua adalah kawan seperjuangan dalam mencapai cita-cita.

Seorang guru juga harus dapat menjaga keharmonisan dengan para siswa. Siswa yang satu dengan yang lain harus kita pandang sama. Salah satu upaya yang dapat kita lakukan adalah dengan menghindarkan budaya “ngecing” (merasa tidak senang dengan salah satu siswa). Hal ini kalau ada dalam diri seorang guru sudah barang tentu akan merugikan siswa tersebut. Kita dalam memberikan nilai akan terpengaruh dengan perasaan kita sehingga siswa tersebut menjadi dirugikan.

Ketiga, Penegakan kediplinan sekolah yang tegas. Kedisiplinan siswa harus betul-betul ditegakkan. Siswa yang melanggar peraturan sekolah maka ia harus ditindak tegas. Misalnya dengan penerapan sistim poin di sekolah. Sekolah dalam hal ini wali kelas harus menindak anak buahnya yang melanggar peraturan sekolah. Siswa yang membolos harus diberi poin. Hal ini akan membuat para siswa jera untuk melakukan perbuatan yang melanggar peraturan sekolah.

Di samping poin yang kita berikan kepada siswa yang melanggar sekolah juga bisa memberikan sanksi yang lain. Namun sanksi yang lain ini hendaknya bukan yang mengarah kepada kekerasaan. Sanksi tersebut idealnya yang dapat membuat siswa berkembang dan mendidik. Misalnya siswa diminta membuat refleksi dengan ketentuan dua atau tiga lembar. Siswa akan berusaha menyesali perbuatannya dan ia akan berlatih membuat suatu karangan. Tamparan ataupun tindak kekerasaan lain yang kita berikan hanya akan semakin meruncingkan masalah. Siswa akan hormat di depan kita dan di belakang meremehkan kita.

Sebagai upaya untuk menegakkan kedisiplinan para siswa hendaknya guru juga harus dapat mengenali kepribadian siswa. Ketika guru dihadapkan kepada siswa yang bermasalah kita tidak bisa langsung menjatuhkan sanksi. Kita harus mengenali siswa terlebih dahulu dengan pendekatan pribadi. Setelah kita mengetahui latar belakang siswa dan latar belakang permasalahan kita baru bisa memutuskan dan diikuti dengan pemberian jalan keluar. Hal ini sebagai upaya untuk menegakkan kedisiplinan siswa.

Keempat, Penanaman nilai-nilai kristiani di sekolah. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai kristiani ini. Misalnya pembinaan iman yang rutin dan berkala. Secara rutin misalnya dengan pendalaman kitab suci setiap minggunya diselipkan dalam jam-jam pelajaran yang ada. Secara berkala misalnya kelas I ada program rekoleksi, kelas II dengan gladi rohani dan kelas III dengan retret. Bagi sekolah-sekolah Katholik hal ini mudah dilakukan dan bisa menjadi program yang rutin. Namun bagi sekolah yang umum sedikit mengalami kendala.

Bagi sekolah-sekolah di Lingkungan Yayasan Pangudi Luhur misalnya penanaman nilai-nilai kristiani dengan memasukkan ‘Ke-Pangudiluhuran’ dalam jam pelajaran. Dalam satu minggu diberikan satu jam pelajaran untuk ‘Ke-Pangudiluhuran’. Banyak hal yang di sampaikan dalam ‘Ke-Pangudiluhuran’ antara lain nilai-nilai kasih sayang, tolong menolong, semangat kebersamaan, solidaritas dan lain sebagainya. Pada intinya dalan Ke-Pangudiluhuran para siswa diharapkan dapat meneladani hidup seperti yang tercermin dalam sosok Bruder FIC.

Kelima, sekolah harus selektif dalam mengadakan kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler yang memudahkan memicu tindak kekerasaan harus didampingi pembimbing dengan sungguh-sungguh bila perlu dipangkas atau dihilangkan saja. Sekolah bisa lebih seletif dalam memilih kegiatan ekstrakurikuler yang dapat diikuti para siswa. Kegiatan tersebut bisa yang berupa penyaluran bakat (olahraga, musik), memberikan bekal hidup (ketrampilan), menanamkan nilai-nilai hidup( Palang Merah Remaja, Pencinta Alam) maupun penajaman berfikir ( debat, penalaran).

Menghindarkan budaya senioritas, menjaga hubungan yang harmonis sesama warga sekolah, penegakaan disiplin yang tegas, penanaman nilai-nilai kristiani dan selektif dalam menentukan kegiatan ekstrakurikuler merupakan beberapa solusi yang diusulkan penulis agar iklim yang kondusif dan saling menghargai sesama warga sekolah tercapai. Hal ini akan membuat sekolah terhindar dari tindak kekerasaan fisik maupun tindak kekerasaan verbal. Semoga!!!

#@@@@@@@#

Ag. Budi Susanto, S.Pd.

Guru SMA Pangudi Luhur Sedayu

PENDIDIKAN KITA TERNODA

(Dimuat dalam Majalah PRABA Januari ke dua 2010)

Pendidikan Kita Ternoda

Oleh: Ag. Budi Susanto, S.Pd.

Berkali-kali pendidikan kita tercoreng oleh ulah oknum yang tidak bertanggungjawab. Mereka adalah siswa, guru maupun kepala sekolah. Ulah mereka baik disadari maupun tidak disadari sudah menodai dari tujuan pendidikan kita. Lalu bagaimana nasib pendidikan di negeri ini kalau perilaku mereka dibiarkan saja?

Beberapa waktu yang lalu sempat menjadi berita yang hangat terjadinya kekerasan fisik yang terjadi dalam dunia pendidikan. Kekerasan yang dilakukan oleh kakak kelas terhadap adik kelas, bahkan sampai ada yang meninggal dunia akibat kekerasan tersebut. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana fungsi guru sebagai pendamping atau pembimbing mereka? Apakah mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu dengan membiarkan peristiwa itu terjadi? Berbagai alasan muncul untuk menampik tindakan tersebut. Misalnya kegiatan tersebut untuk melatih kepemimpinan siswa, menanamkan kepercayaan diri dan lain sebagainya.

Berita yang cukup hangat pula yaitu terjadinya kecurangan dalam Ujian Nasional yang sampai melibatkan guru bahkan kepala sekolah. Di Jawa Timur sebuah sekolah seluruh siswanya tidak lulus Ujian Nasional, hal ini disebabkan adanya kunci yang beredar salah dan seluruh siswa terlanjur mengerjakan. Lalu siapa yang harus bertanggungjawab terhadap masalah tersebut? Bahkan di Bengkulu beberapa oknum Kepala Sekolah harus berususan dengan aparat karena terbukti membocorkan soal Ujian nasional. Munculnya kecurangan ini karena adanya ketakutan akan banyaknya siswa yang tidak lulus.

Sebagai guru yang mengajar dengan hati ketakutan ini tidak perlu muncul. Kita harus selalu optimis akan kemampuan para anak didik kita. Justru ketika anak didik kita lulus padahal kemampuan yang dimiliki kurang untuk bersaing di jenjang pendidikan yang lebih tinggi seolah menjerumuskan mereka. Namun tentunya kita selalu berharap bahwa anak didik kita lulus semua. Kekawatiran banyaknya siswa yang tidak lulus Ujian Nasional bagi guru terlebih pengelola sekolah wajar terjadi. Masyarakat memandang berkualitas tidaknya suatu sekolah hanya melihat dari jumlah kelulusan setiap tahunnya. Sekolah yang mampu meluluskn 100% dalan setiap tahunnya berarti sekolah tersebut dianggap bermutu atau sebaliknya kalau banyak yang tidak lulus berarti sekolah tersebut dianggap kurang bermutu.

Munculnya kecurangan ini justru dipupuk adanya imits masyarakat yang tidak 100 % benar. Maka imits ini harus diubah kualtitas suatu sekolah tidak selamanya tergantung dari jumlah kelulusan dalam Ujian Nasional. Kualitas suatu sekolah terlihat bagaimana lulusan yang dihasilkan mampu bersaing dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau bersaing dalam dunia kerja. Lu;lus 100% tetapi banyak lulusan yang menganggur dan ketika menempuh jenjang pendidikan di atasnya kurang bisa bersaing, apakah sekolah tersebut layak disebut sekolah yang berkualitas?

Noda yang cukup memilukan dalam dunia pendidikan kita khususnya yang melibat oknum guru dengan tindakan asusila. Seorang oknum kepala sekolah melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap beberapa siswanya yang belum lama ini terjadi di salah satu sekolah di Yogyakarta. Pemerintah sudah cukup tegas bertindak dengan memberhentikan dari jabatan kepala sekolah dan mengantorkannya. Rasa perikemanusiaan nampaknya masih ada, ia tidak diberhentikan dari pekerjaan.

Beberapa hari terakhir ini Kedaulatan Rakyat memberitakan adanya indikasi kecurangan yang dilakukan beberapa oknum pengawas dalam penyusunan portofolio untuk sertifikasi pengawas. Mereka dianggap sebagai plagiat dalam penyusunan dokumen portofolio. Banyak portofolio yang dibuat dengan pola yang sama baik bahasa maupun programnya sama. Hal ini menimbulkan kecurigaan dari asesor sehingga banyak yang gagal karena portofolio.

Ketua PGRI DIY Ahmad Zainal Fanoni MA dalam KR 29/9 2009 mengharapkan asesor segera menyelesaikan masalah ini dengan melakukan pembinaan sehingga mereka layak untuk di sebaut pengawas yang professional. Ia menambahkan diskualifikasi bukanlah solusi yang terbaik dalam penyelesaiannya sertifikasi bagi pengawa. Hal ini akan berefek kurang baik dalam dunia pendidikan kita.

Ulah dari beberapa oknum yang diindikasi melakukan kecurangan ini cukup kita sayangkan. Pengawas merupakan sosok yang menjadi panutan kita sebagai guru, karena mereka adalah orang-orang yang cukup senior. Berlatar belakang sebagai kepala sekolah dan akhirnya meningkat menjadi pengawas, kenapa hal ini dapat terjadi? Siapa yang harus bertanggungjawab? Kalau mereka terbukti sanksi apa yang harus diberikan kepada mereka?

Penulis hanya berharap semoga indikasi ini tidak benar. Kesamaan dalam pola dan program hanyalah kebetulan saja. Namun kalau benar-benar terjadi kita hanya segera berharap segera ada solusinya saja. Kepercayaan guru terhadap oknum tersebut tentunya dapat berkurang. Walaupun asesor memberikan solusi dengan pembinaann, tetapi kita sudah terlanjur menaruh rasa ketidakpercayaan ini sulit untuk dihilangkan. Bagaimana naasib pendidikan negeri ini jika hal tersebut terjadi?

PR bagi kita semua, bagi sekolah harus selalu menanamkan nilai-nilai hidup salah satunya nilai kejujuran bagi anak didiknya untuk selalu memegang kejujuran dalam setiap gerak kehidupannya. Perekrutan guru harus selalu memegang teguh pada prinsip profesionalitas bukan adanya unsur kekeluargaan. Hal ini berlaku bagi sekolah negeri maupun sekolah yayasan. Tanpa berpegang ini maka kualitas pendidikan kita semakin terpuruk.

Demikian juga untuk penunjukkan pengawas tidak hanya tergantung pada senioritas saja, tetapi betul-betul memperhatikan profesionalitas. Hal ini kalau sungguh diterapkan maka perilaku yang mengarah kecurangan tidak akan terjadi.. Semoga !!!

@@@@@@@@

Ag. Budi Susanto, S.Pd.

+) Guru SMA Pangudi Luhur Sedayu

MENJADI TELADAN

Menjadi Telandan

Oleh : Ag. Budi Susanto, S.Pd.

Suatu ungkapan yang melekat pada profesi guru “Guru: Digugu lan Ditiru” apakah masih layak melekat pada guru? Ya…., idealnya hal tersebut selalu melekat pada profesi guru. Bagaimanapun guru tidak hanya sekedar mengajar atau mentranfer ilmu saja tetapi juga penanaman sikap kepada anak didik. Untuk mewujudkannya salah satunya dengan memberikan contoh terbaik bagi mereka.

Kalau kita melarang siswa untuk tidak merokok di sekolah dan dimana saja, idealnya kita juga jangan merokok. Namun apakah kita sudah demikian atau kita justru ikut-ikutan merokok secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan guru? Kalau guru agar tidak siswa? Hal ini sebagai salah satu contoh bahwa guru juga belum bisa digugu lan ditiru.

Seorang Kepala Sekolah misalnya: Memberi masukan kepada para guru dan karyawannya untuk datang tepat waktu dan pulang tidak membolos. Bagaimana idealnya seorang Kepala Sekolah tersebut? Beliau juga tepat waktu dan meninggalkan sekolah juga memberitahu anak buah kalau ada keperluan. Namun kalau hal ini belum dilaksanakan sendiri, Diapun belun bisa menjadi teladan.

Kedua ilustrasi tersebut sebagai contoh bagaimana kita bisa menjadi teladan bagi orang lain. Menjadi teladan tidaklah semudah membalik telapan tangan tetapi kita sendiri harus menyadari akan kekurangan kita. Namun kalau kita tidak mau mencoba untuk menjadi teladan maka komunitas kitapun sulit untuk berkembang.

Profesi guru sudah menjadi pilihan hidup kita entah sudah kita sadari atau belum. Kalau kita sudah menjatuhkan pilihan hidup apapun beratnya tugas kita, kita tetap harus menjalani dengan senang hati dan penuh tanggungjawab. Namun kalau profesi itu sudah kita sadari sejak awal, untuk menjalaninya sangat senang dan kita selalu mencoba untuk bersikap dan bertingkahlaku idealnya sebagai seorang guru.

Sebaagai guru apakah kita sudah bisa meneladani para pendahulu kita dan apakah kita juga sudah bisa menjadi teladan bagi para anak didik kita? Pertanyaan tersebut tidak perlu kita jawab tetapi kita coba renungkan sebagai bahan refleksi kita bersama sebagai guru. Kalau hal tersebut sudah bisa kita laksanakan maka Sekolah-sekolah kita akan semakin baik dan mampu melekat dihati masyarakat atau orang-oarang yang kita layani.

Ketika kita belum bisa meneladani para pendahulu kita maka kita belum bisa menjadi teladan bagi anak didik kita. Kitapun masih setengah hati bekerja sebagai guru. Hendaknya kalau kita sudah memutuskan menjadi guru, kita harus segera menyesuaikan dan segera bisa meneladani para Pendahulu kita.

Bentuk keledanan kita kepada anak didik misalnya bagaimana kita harus selalu bersikap baik dimanapun. Ketika kita di sekolah harus selalu berpegang teguh pada peraturan yang ada dan ketika di rumah atau masyarakat harus bisa menjaga imits kita sebagai seorang guru. Kita harus bisa menjadi contoh yang terbaik bagi para anak didik kita, aturan yang diberlakukan di sekolah bagi anak didik idealnya kita mencoba untuk mengikuti. Siswa tidak boleh mengaktifkan HP di kelas, tidak boleh merokok, tidak boleh membolos dan lain-lain, kita tentunya juga jangan membawa HP di kelas, merokok di sekolah, membolos dan lain-lain.

Ketaladanan kita di masyarakat misalnya aktif dalam kegiatan kegerejaan. Misalnya sebagai anggota koor, doa lingkungan atau menjadi pengurus di gereja. Hal ini akan mampu menunjukkan bahwa kita adalah bagian dari Pangudi Luhur. Kita jangan malah menghilang dalam kegiatan kegerejaan, banyak alas an kalau ditunjuk sebagai pengurus. Pekerjaan sekolah yang banyak, belum waktunya, merasa tidak mampu dan sebagainya, hal itu hanya sebagai dalih untuk menghindari saja.

Sejalan dengan program Sertfikasi Guru yang dilontarkan pemerintah sebagai upaya peningkatan penghasilan guru yang dibarengi dengan peningkatan kinerja guru dan akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Sebagai guru yang sudah lulus sertifikasi dan sudah menikmati tambahan penghasilan harusnya kinerjanya semakin baik. Dia harus betul-betul menjadi contoh yang terbaik bagi teman-teman guru yang belum sertifikasi dan tentunya juga bagi para siswa. Namun kalau itu belum demikian kiranya upaya pemerintah tersebut belum berhasil.

Bagaimana upaya yang dapat kita lakukan untuk menunjukkan kinerja kita lebih baik? Misalnya kita selalu dating tepat waktu, memberikan pelayanan terbaik kepada anak didik kita, mampu menjadi teladan dalam masyarakatan, mau terlibat dalam tugas pelayanan gereja sesuai dengan talenta yang kita miliki. Semoga!!!!

@@@@@@@@@@@@@@@@@

(Mengajar di SMA Pangudi Luhur “St Louis IX” Sedayu)

BAHASA MEDIA MASSA DAN KONSEKUENSI TERHADAP EYD

PEMBINAAN BAHASA

BAHASA MEDIA MASSA DAN KONSEKUENSI TERHADAP EYD

Oleh: Ag. Budi Susanto, S.Pd.

Pemakaian bahasa yang cermat dalam penulisan bukan semata-mata demi citarasa kebahasaan. Bahasa yang ditulis untuk mengungkapkan sesuatu pada dasarnya merupakan suatu rekontruksi secara tertulis. Hanya lewat bahasa yang cermatlah rekontruksi itu dapat mengantar pembaca untuk membayangkan apa yang sesungguhnya terjadi. Penulisan kata, kalimat dan alinea tanpa kecermatan, kemungkinan besar berpengaruh pada pemahaman yang diperoleh pembaca dan kenyataan jauh berbeda.

Ketidakcermatan dalam pemakaian bahasa mengakibatkan suatu tindakan penyelewengan terhadap kaidah ketatabahasaan atau pedoman EYD. Hal ini kalau dibiarkan akan merusak kaidah Bahasa Indonesia. Penyelewengan kebahasaan dalam bahasa media massa nampak jelas pada penerapan ejaan.

Masalah ejaan memang bukan tolok ukur untuk menentukan tingkat kebudayaan tulis seseorang, namun masalah ejaan berkaitan dengan masalah mentalitas. Gejala ini bukan sebagai perkembangan terhadap ketentuan-ketentuan Pedoman EYD, tetapi boleh dikatakan tidak banyak media massa yang konsekuen melaksanakan pedoman EYD. Penyimpangan ini terjadi baik pada media massa local maupun nasional. Penyimpangan tersebut misalnya pemakaian angka dua sebagai tanda ulang (orang2 seharusnya orang-orang), penulisaan kata berimbuhan (menyontek seharusnya mencontek), penulisan nama dan gelar (Agustinus Budi Susanto SPD seharusnya Agustinus Budi Susanto, S.Pd.).

Berbagai alasan dari pengelola media massa diutarakan ketika mendapat kritikan dari pembaca. Misalnya, demi penghematan tempat, agar bahasanya lugas atau mudah diterima pembaca dan alasan-alasan lainnya. Alasan tersebut kalau kita cermati memang masuk akal, bahasa media massa sebaiknya lugas, mudah diterima dan penghematan tempat. Namun, kita sebagai pemakai dan pemerhati bahasa hendaknya menyadari akan kesalahan penggunaan bahasa. Kesalahan itu kalau kita biarkan akan merusak kaidah kebahasaan kita. Sebagai upaya untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pihak pengelola media massa harus konsekuen untuk melaksanakan pedoman EYD dalam Pers Indonesia, setidaknya EYD dijadikan pedoman agar dapat terhindar penyimpangan yang berlebihan.

*) Mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia serta Bahasa Jawa