Jumat, 29 Januari 2010

Pendidikan Kita "Ternoda"

Dimuat dalam Majalah PRABA Januari ke dua 2010)
Pendidikan Kita Ternoda

Oleh: Ag. Budi Susanto, S.Pd.
Berkali-kali pendidikan kita tercoreng oleh ulah oknum yang tidak bertanggungjawab. Mereka adalah siswa, guru maupun kepala sekolah. Ulah mereka baik disadari maupun tidak disadari sudah menodai dari tujuan pendidikan kita. Lalu bagaimana nasib pendidikan di negeri ini kalau perilaku mereka dibiarkan saja?
Beberapa waktu yang lalu sempat menjadi berita yang hangat terjadinya kekerasan fisik yang terjadi dalam dunia pendidikan. Kekerasan yang dilakukan oleh kakak kelas terhadap adik kelas, bahkan sampai ada yang meninggal dunia akibat kekerasan tersebut. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana fungsi guru sebagai pendamping atau pembimbing mereka? Apakah mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu dengan membiarkan peristiwa itu terjadi? Berbagai alasan muncul untuk menampik tindakan tersebut. Misalnya kegiatan tersebut untuk melatih kepemimpinan siswa, menanamkan kepercayaan diri dan lain sebagainya.
Berita yang cukup hangat pula yaitu terjadinya kecurangan dalam Ujian Nasional yang sampai melibatkan guru bahkan kepala sekolah. Di Jawa Timur sebuah sekolah seluruh siswanya tidak lulus Ujian Nasional, hal ini disebabkan adanya kunci yang beredar salah dan seluruh siswa terlanjur mengerjakan. Lalu siapa yang harus bertanggungjawab terhadap masalah tersebut? Bahkan di Bengkulu beberapa oknum Kepala Sekolah harus berususan dengan aparat karena terbukti membocorkan soal Ujian nasional. Munculnya kecurangan ini karena adanya ketakutan akan banyaknya siswa yang tidak lulus.
Sebagai guru yang mengajar dengan hati ketakutan ini tidak perlu muncul. Kita harus selalu optimis akan kemampuan para anak didik kita. Justru ketika anak didik kita lulus padahal kemampuan yang dimiliki kurang untuk bersaing di jenjang pendidikan yang lebih tinggi seolah menjerumuskan mereka. Namun tentunya kita selalu berharap bahwa anak didik kita lulus semua. Kekawatiran banyaknya siswa yang tidak lulus Ujian Nasional bagi guru terlebih pengelola sekolah wajar terjadi. Masyarakat memandang berkualitas tidaknya suatu sekolah hanya melihat dari jumlah kelulusan setiap tahunnya. Sekolah yang mampu meluluskn 100% dalan setiap tahunnya berarti sekolah tersebut dianggap bermutu atau sebaliknya kalau banyak yang tidak lulus berarti sekolah tersebut dianggap kurang bermutu.
Munculnya kecurangan ini justru dipupuk adanya imits masyarakat yang tidak 100 % benar. Maka imits ini harus diubah kualtitas suatu sekolah tidak selamanya tergantung dari jumlah kelulusan dalam Ujian Nasional. Kualitas suatu sekolah terlihat bagaimana lulusan yang dihasilkan mampu bersaing dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau bersaing dalam dunia kerja. Lu;lus 100% tetapi banyak lulusan yang menganggur dan ketika menempuh jenjang pendidikan di atasnya kurang bisa bersaing, apakah sekolah tersebut layak disebut sekolah yang berkualitas?
Noda yang cukup memilukan dalam dunia pendidikan kita khususnya yang melibat oknum guru dengan tindakan asusila. Seorang oknum kepala sekolah melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap beberapa siswanya yang belum lama ini terjadi di salah satu sekolah di Yogyakarta. Pemerintah sudah cukup tegas bertindak dengan memberhentikan dari jabatan kepala sekolah dan mengantorkannya. Rasa perikemanusiaan nampaknya masih ada, ia tidak diberhentikan dari pekerjaan.
Beberapa hari terakhir ini Kedaulatan Rakyat memberitakan adanya indikasi kecurangan yang dilakukan beberapa oknum pengawas dalam penyusunan portofolio untuk sertifikasi pengawas. Mereka dianggap sebagai plagiat dalam penyusunan dokumen portofolio. Banyak portofolio yang dibuat dengan pola yang sama baik bahasa maupun programnya sama. Hal ini menimbulkan kecurigaan dari asesor sehingga banyak yang gagal karena portofolio.
Ketua PGRI DIY Ahmad Zainal Fanoni MA dalam KR 29/9 2009 mengharapkan asesor segera menyelesaikan masalah ini dengan melakukan pembinaan sehingga mereka layak untuk di sebaut pengawas yang professional. Ia menambahkan diskualifikasi bukanlah solusi yang terbaik dalam penyelesaiannya sertifikasi bagi pengawa. Hal ini akan berefek kurang baik dalam dunia pendidikan kita.
Ulah dari beberapa oknum yang diindikasi melakukan kecurangan ini cukup kita sayangkan. Pengawas merupakan sosok yang menjadi panutan kita sebagai guru, karena mereka adalah orang-orang yang cukup senior. Berlatar belakang sebagai kepala sekolah dan akhirnya meningkat menjadi pengawas, kenapa hal ini dapat terjadi? Siapa yang harus bertanggungjawab? Kalau mereka terbukti sanksi apa yang harus diberikan kepada mereka?
Penulis hanya berharap semoga indikasi ini tidak benar. Kesamaan dalam pola dan program hanyalah kebetulan saja. Namun kalau benar-benar terjadi kita hanya segera berharap segera ada solusinya saja. Kepercayaan guru terhadap oknum tersebut tentunya dapat berkurang. Walaupun asesor memberikan solusi dengan pembinaann, tetapi kita sudah terlanjur menaruh rasa ketidakpercayaan ini sulit untuk dihilangkan. Bagaimana naasib pendidikan negeri ini jika hal tersebut terjadi?
PR bagi kita semua, bagi sekolah harus selalu menanamkan nilai-nilai hidup salah satunya nilai kejujuran bagi anak didiknya untuk selalu memegang kejujuran dalam setiap gerak kehidupannya. Perekrutan guru harus selalu memegang teguh pada prinsip profesionalitas bukan adanya unsur kekeluargaan. Hal ini berlaku bagi sekolah negeri maupun sekolah yayasan. Tanpa berpegang ini maka kualitas pendidikan kita semakin terpuruk.
Demikian juga untuk penunjukkan pengawas tidak hanya tergantung pada senioritas saja, tetapi betul-betul memperhatikan profesionalitas. Hal ini kalau sungguh diterapkan maka perilaku yang mengarah kecurangan tidak akan terjadi.. Semoga !!!
@@@@@@@@
Ag. Budi Susanto, S.Pd.
+) Guru SMA Pangudi Luhur Sedayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar